Jumat, 07 Mei 2010

Bagai Ulat Sutera

Beberapa ekor ulat sutera yang terus bekerja memakan semua daun pepohanan. Lambat laun, daun tersebut 'renggis' sehingga makin lama kelihatannya pohon itu tidak tampak lagi kesempunaannya sebagai pohon yang bisa memberi kesegaran bagi burung-burung yang ingin bertengger, berteduh dan berkejar-kejaran diantara satu dahan ke dahan lain sambil berkicau dan menikmati kenyamanan di sekitar. Kini nampaknya burung-burung telah enggan untuk singgah karena daya tarik pohon tersebut hampir hilang.

Ulat sutera kelihatannya berusaha sekeras mungkin ingin membuat sarang yang terindah dan merubah diri menjadi seekor kepompong. Sehingga semakin ia menyelimuti dirinya dalam kepompong semakin berkurang kesempatannya melepaskan diri dari keadaan itu, akibat dari ulahnya sendiri, akhirnya ia mati karena kepedihannya.

Disini dapat kita gambarkan orang yang dalam hidupnya senantiasa ingin merebut harta dan kedudukan. Pikirannya hanya tertuju bahwa di dunia ini dengan harta dan jabatan akan membawa ketenangan. Begitu pula seperti ulat sutera, yang terus menggerogos seisi daun pepohonan yang digambarkan bagai kehidupan dunia yang merupakan ladang amal untuk kehidupan akhirat. Selagi ladangnya masih kita pergunakan dengan baik, niscaya kita akan memetik hasilnya. Tiadalah berguna harta, pangkat dan jabatan ini yang nantinya akan terputus oleh kematian.

Orang serakah akan hal tersebut, dia pasti merasakan sempitnya kehidupan dan yang menghimpitnya bukanlah orang lain, melainkan hartanya sendiri yang telah diusahakan, kedudukannya sendiri yang telah dicapai, namun amanat tersebut tidak diemban dengan baik dan bijaksana. Begitu pula pemimpin yang serakah akan kedudukannya, dengan kedudukan tersebut ia merasakan kesempitan dalam berbuat. Maka dengan jabatannya itu, ia mengumpulkan segala yang ada demi terpenuhi hajatnya sendiri. Bak ulat sutera yang giat mengumpulkan bahan untuk membangun kediamannya dalam kepompong. Pemimpin yang serakah senantiasa mengumpulkan segala yang ada sekedar memenuhi kebutuhan pribadi semata. Pada akhinya nanti dari apa yang telah didapati bukannya menjadi ketenteraman bagi dirinya, melainkan suatu malapetaka besar yang ia lalui, serta kepedihan di atas kedudukannya.

Pemimpin yang ideal itu dia tidak terlarut dengan kemewahan, yang turut sama merasakan kesengsaraan rakyat, penuh tawadhu', tawakkal, bijaksana dalam keputusan, dan lebih mementingkan bawahan daripada kepentingan pribadi. Sehingga segala fitnah terlepas dari kehidupannya, walaupun ada, itu merupakan suatu rintangan dari orang-orang yang selalu ingin membuat kerusakan dan kehancuran, namun dari raut wajahnya akan tampak ketenangan yang menyelimuti. Karena dia sadar bahwa segala perbuatannya tidak terlepas dari pandangan Allah S.W.T, dan meyakini bimbingan Allah pasti akan selalu tercurahkan kepada hamba yang selalu tawakkal, ikhlas dan berharap hanya kepada-Nya.

Bukan malah sebaliknya, dengan kepemimpinannya, tidak tampak tanda-tanda kebaikan, tapi yang ada perpecahan, kezaliman yang semakin menjadi-jadi, dan kerusakan makin bertambah, kayaknya seperti pepohonan yang hancur dimamah ulat sutera, begitupula kehidupan akan bertambah hancur dengan kepemimpinan seperti ini yang hanya mementingkan kehidupan duniawi.

Dalam surat Al-A'la ayat 16-17 Allah swt. berfirman: "Tapi kamu lebih menyukai kehidupan duniawi. Sedangkan kehidupan akhirat lebih baik dan kekal." Dan dalam firman Allah surat Al-Qiyamah ayat 20-21: "Sesekali janganlah demikian, sesungguhnya kamu menyintai kehidupan duniawi, dan meninggalkan kehidupan akhirat."

Dengan adanya batasan ini yang telah diterangkan oleh Allah swt, seorang pemimpin hendaklah lebih mengetahui bahayanya kehidupan duniawi. Diantara simbol bahaya bagi pemimpin adalah berbuat kezaliman. Hal ini ia harus lebih lihai mengetahui daripada rakyatnya, apakah perbuatannya termasuk menzalimi? Dengan memahami tersebut dan terlaksana seadanya, maka ia akan terlepas dari perbuatan yang merusak orang lain dan dirinya sendiri.

Wahai pohon, janganlah engkau bersedih, karena ulat-ulat akan segera musnah, kerusakanmu bukanlah sebuah kehancuran, tapi dirimu hanya kehilangan kesempurnaan. Walau demikian kesempurnaanmu akan kembali pulih, karena perubahan musim akan segera berganti. Daun-daunmu akan tumbuh, dengan keadaan yang segar dan muda, ditambah lagi engkau bakal dihiasi oleh bunga-bunga yang menarik warnanya lagi harum baunya.

Begitu pula kehidupan ini, zaman yang setiap episodenya akan berganti, walau banyak korban yang menjadi mangsa di masa lalu. Biarpun dunia ini banyak kerusakan yang dilakukan oleh tangan-tangan perusak. Namun kehidupan tidak akan pernah hancur sebelum Allah menghendakinya. Malah manusia itu sendirilah yang akan hancur dan binasa atas perbuatannya. Lantas kehidupan dunia akan lebih sempurna bila generasi baru bisa tumbuh dengan baik, dan memimpin dengan baik pula karena perubahan masa pasti berganti, ditambah lagi dihiasi dengan akhlakul karimah, sopan santun, dan terpercaya, maka akan membawa keharuman dan kesegaran dalam menempuh kehidupan.

Bagi yang terlanjur dengan keserakahannya, bukanlah suatu kehinaan yang tidak bisa diubah dengan kebaikan. Seperti pohon itu pula tadi, walau segalanya hancur seperti harta, jabatan, bahkan dirinya sendiri. Namun dia masih mempunyai hati nurani yang bersih untuk berubah dan berbuat lebih baik dari masa silamnya yang penuh kesalahan dan dosa. Sesungguhnya Allah mengampuni hambaNya yang betul-betul mengakui kesalahnnya dan bertaubat.

Wallahu a'lam

nb: tulisan ini pernah diterbitkan di buletin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sekilas Tentang Arya Wiraraja

Aria Wiraraja Aria Wiraraja atau Banyak Wide adalah tokoh pengatur siasat Raden Wijaya dalam usaha penaklukan Kadiri tahun 1293 dan pendirian Kerajaan Majapahit. Aria Wiraraja dan Keruntuhan Singhasari Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Harsawijaya mengisahkan Arya Wiraraja semula menjabat sebagai rakryan demung pada masa pemerintahan Kertanagara di Singhasari. Namun karena sikapnya menentang politik luar negeri raja, ia pun dipindahkan menjadi bupati Sumenep. Wiraraja merasa sakit hati. Ia mengetahui kalau Jayakatwang bupati Gelang-Gelang berniat memberontak, untuk membalas kekalahan leluhurnya, yaitu Kertajaya raja terakhir Kadiri yang digulingkan oleh Ken ArokKerajaan Tumapel atau Singhasari. Wiraraja pun mengirim surat melalui putranya yang bernama Wirondaya, yang berisi saran supaya Jayakatwang segera melaksanakan niatnya, karena saat itu sebagian besar tentara Singhasari sedang berada di luar Jawa. pendiri Maka pada tahun 1292, terjadilah serangan pasukan Gelang-Gelang terhadap ibu kota Singhasari. Kertanagara tewas di istana. Jayakatwang lalu membangun kembali negeri leluhurnya, yaitu Kadiri dan menjadi raja di sana. Persekutuan Aria Wiraraja dengan Raden Wijaya Menantu Kertanagara yang bernama Raden Wijaya mengungsi ke Sumenep meminta perlindungan Aria Wiraraja. Semasa muda, Wiraraja pernah mengabdi pada Narasingamurti kakek Raden Wijaya. Maka, ia pun bersedia membantu sang pangeran untuk menggulingkan Jayakatwang. Raden Wijaya bersumpah jika ia berhasil merebut kembali takhta mertuanya, maka kekuasaannya akan dibagi dua, yaitu untuk dirinya dan untuk Wiraraja. Mula-mula Wiraraja menyarankan agar Raden Wijaya pura-pura menyerah ke Kadiri. Atas jaminan darinya, Raden Wijaya dapat diterima dengan baik oleh Jayakatwang. Sebagai bukti takluk, Raden Wijaya siap membuka Hutan TarikTarik, Sidoarjo menjadi kawasan wisata bagi Jayakatwang yang gemar berburu. Jayakatwang mengabulkannya. Raden Wijaya dibantu orang-orang Madura kiriman Wiraraja membuka hutan tersebut, dan mendirikan desa Majapahit di dalamnya. Pada tahun 1293 datang tentara Mongol untuk menghukum Kertanagara yang berani menyakiti utusan Kubilai Khan tahun 1289. Raden Wijaya selaku ahli waris Kertanagara siap menyerahkan diri asalkan ia terlebih dahulu dibantu memerdekakan diri dari Jayakatwang. Maka bergabunglah pasukan Mongol dan MajapahitKadiri. Setelah Jayakatwang kalah, pihak Majapahit ganti mengusir pasukan Mongol dari tanah Jawa. menyerbu ibu kota Menurut Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Harsawijaya, pasukan Mongol datang atas undangan Wiraraja untuk membantu Raden Wijaya mengalahkan Kadiri, dengan imbalan dua orang putri sebagai istri kaisar Mongol. Kisah tersebut hanyalah ciptaan si pengarang yang tidak mengetahui kejadian sebenarnya. Dari berita Cina diketahui tujuan kedatangan pasukan Mongol adalah untuk menaklukkan KertanagaraJawa. penguasa Jabatan Aria Wiraraja di Majapahit Raden Wijaya menjadi raja pertama Majapahit yang merdeka tahun 1293. Dari prasasti Kudadu (1294) diketahui jabatan Aria Wiraraja adalah sebagai pasangguhan dengan gelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka. Pada prasasti Penanggungan (1296) nama Wiraraja sudah tidak lagi dijumpai. Penyebabnya ialah pada tahun 1295 salah satu putra Wiraraja yang bernama Ranggalawe melakukan pemberontakan dan menemui kematiannya. Peristiwa itu membuat Wiraraja sakit hati dan mengundurkan diri dari jabatannya. Ia lalu menuntut janji Raden Wijaya, yaitu setengah wilayah Majapahit. Raden WijayaMajapahit sebelah timur dengan ibu kota di Lumajang. mengabulkannya. Wiraraja akhirnya mendapatkan Akhir Kemerdekaan Majapahit Timur Pararaton menyebutkan pada tahun 1316 terjadi pemberontakan Nambi di Lumajang terhadap JayanagaraMajapahit. Kidung Sorandaka mengisahkan pemberontakan tersebut terjadi setelah kematian ayah Nambi yang bernama Pranaraja. Sedangkan, Pararaton dan Kidung Harsawijaya menyebut Nambiprasasti Kudadu (1294) Pranaraja tidak sama dengan Wiraraja. raja kedua adalah putra Wiraraja. Menurut Berdasarkan analisis Slamet Muljana menggunakan bukti prasasti Kudadu dan prasasti Penanggungan (dalam bukunya, Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya, 1979), Wiraraja lebih tepat sebagai ayah Ranggalawe dari pada ayah Nambi. (Lihat Ranggalawe) Tidak diketahui dengan pasti apakah Wiraraja masih hidup pada tahun 1316. Yang jelas, setelah kekalahan Nambi, daerah Lumajang kembali bersatu dengan Majapahit bagian barat. Ini berarti penguasa Majapahit Timur saat itu (entah Wiraraja atau penggantinya) bergabung dengan Nambi dan terbunuh oleh serangan pasukan Majapahit Barat. Referensi • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan. Yogyakarta: LKIS