Dunia sastra sangat berkaitan dengan dunia yang tidak kasat mata. Teks sastra menyajikan persoalan hidup dan kehidupan secara fiktif, tetapi secara moral dan logika harus dapat ”dipertanggungjawabkan”. Bisa saja seorang penulis menyajikan konflik perjalanan hidup seorang pencandu narkotika yang tega menyiksa diri dan merusak masa depannya melalui ”pil atau serbuk setan”, misalnya. Namun, peristiwa yang digambarkan tetap harus utuh dan menampakkan kewajaran dari sisi moral dan logika. Jadi, meskipun hanya merupakan karya imajinatif, teks sastra tetap harus menampakkan keutuhannya sebagai teks yang runtut penalarannya.
Emha Ainun Najib mengatakan, pekerjaan sastra memang merupakan pekerjaan halus, pekerjaan rohaniah. Namun, bagi yang berminat mengembangkan bakatnya tidak sesulit menekuni olahraga. Jika dalam sepak bola aturan-aturan main harus dipahami sebelum main sepak bola, sedangkan sastra –meski belum jelas; apakah itu soal kosa kata, dan sebagainya– tulis saja terus, sambil mencari waktu membaca karya sastra, kemudian karya tersebut disimpan, dibaca lagi, diperbaiki lagi, diendapkan lagi.
“Semua penyair/cerpenis mengalami kesulitan menulis. Kalau tak demikian, tak lahir karya bermutu. Jadi, tulis saja dulu, meski katanya keliru, nanti akan ada komparasi, perbaiki kekeliruan, supaya ada dialektika dengan diri. Puisi menarik karena ia merangsang pikiran. Bisa saja dalam sebuah karya ada analisis sosiologis, antropologis dan sebagainya,” ungkap Emha. Hal senada juga dikemukakan Wisran Hadi. Menurutnya, bila banyak “peraturan” atau teori justru bisa jadi penghambat dalam menulis. Untuk itu, jangan peduli dulu dengan aturan ini-itu, yang penting menulis, dan terus menulis. Nah, bagaimana, menulis teks sastra tak perlu teori, bukan?
***
Bagaimana mengawali penulisan teks sastra? Tidak usah mempersulit diri. Apa pun yang ada di sekitar kita bisa dijadikan bahan cerita. Teman yang putus cinta, konflik dengan orang tua, gagal naik kelas, kecelakaan lalu lintas, korban narkoba, dan semacamnya bisa diracik menjadi sebuah teks yang menarik. Jadi, kita mesti jeli mengamati berbagai peristiwa yang berlangsung dalam kehidupan di sekitar kita sehari-hari. Lalu, sajikan peristiwa itu secara menarik dengan menggunakan kata-kata yang ekspresif. Ekspresif artinya mampu menyajikan peristiwa dengan menggunakan kata-kata yang dapat menggambarkan apa yang dilihat, didengar, diraba, dicium, atau dirasakan oleh penulis secara tepat. Hal itu bisa dilakukan dengan menggunakan ungkapan (idiom), majas, atau ujaran langsung.
Coba perhatikan kutipan cerpen berikut!
“Melati … Melati … harum dan mewangi …”
Setiap potongan syair dangdut itu terdengar, para tetangga segera paham, Sarkawi baru saja pulang dari hutan. Ia pasti sedang terlihat leyeh-leyeh, sembari memeluk kucingnya.
Mulanya para tetangga memang merasa aneh dengan dendang Sarkawi. Ya, selama ini ia lebih dikenal akrab dengan tembang Jawa atau lagu-lagu tayuban, baik dari mulutnya maupun dari radio kotaknya yang besar itu. Tapi, mereka kemudian mengerti juga, syair dangdut itu ternyata bukan pertanda peralihan selera. Bukan. Ia hanya ungkapan sayang bagi momongannya, si Melati.
Kalau saja punya cucu, Pak Wi, begitu lelaki pencari kayu bakar itu dipanggil, tentu pantas dipanggil kakek. Tapi, jangankan kok cucu, sampai usianya yang menginjak senja, seorang anak pun tak ia miliki. Pernah memang seorang bocah mewarnai kehidupannya, perempuan lagi. Tapi nasib malang merenggut hidup bocah itu ketika belum genap berumur 10 tahun. Sejak itu, Pak Wi dan istrinya tak pernah lagi dikaruniai seorang anak pun. Sebenarnya ada keinginan untuk memungut anak dari famili atau tetangga. Namun, hidupnya yang tak pernah lepas dari kesulitan membuat keinginan itu hanya sebagai keinginan …
(Dikutip dari cerpen “Melati” karya Mahfud Ikhwan)Bagaimana kita memahami struktur Cerpen lanjutkan baca di sini STRUKTUR CERPEN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar