Kamis, 13 Mei 2010

Transfigurasi Ular di Mangkuk Nabi

Kamis, 29 April 2010 | 07:36 WIB

foto

"Puisi Panjang Triyanto Triwikromo" karya Ugo Untoro. (TEMPO) Novi Kartika

TEMPO Interaktif, CERITA pendek sejatinya sebuah karya sastra yang menyajikan imajinasi verbal. Tapi, di tangan para seniman, cerpen bisa menjadi sumber inspirasi untuk menghasilkan gagasan visual, sekaligus uji rasa atas selera dan naluri artistik mereka. Tak mengherankan bila Ugo Untoro mengaku seakan mabuk dalam imajinasi yang tertransfigurasi kala cerpen karangan Triyanto Triwikromo membuatnya terdorong untuk menerjemahkannya secara visual di atas kanvas.

Maka jadilah sebuah lukisan bertajuk Puisi Panjang Triyanto Triwikromo. Lukisan berlatar warna tanah itu mencantumkan beberapa penggal tulisan tangan bersambung, “kedua tokoh pun bicara seperti sedang membaca puisi tak ada karakter di situ”.

Pengalaman Ugo merespons karya cerpen mungkin juga dirasakan 21 seniman yang menggelar pameran di Jakarta Art District, Grand Indonesia, Jakarta, 27 April-2 Mei 2010. Sebagian besar berasal dari Yogyakarta, seperti Arie Dyanto, Bambang “Toko” Witjaksono, Bobo Yudhita Agung, Dipo Andy, Eddie Hara, Gusmen Heriadi, Ugo Untoro, Hayatuddin, Jumaldi Alfi, Pande Ketut Taman, Robi Fathoni, dan Saftari.






Dalam pameran bertajuk Transfiguration yang disuguhkan Galeri Semarang itu, para seniman menggunakan satu dari cerpen karangan Triyanto Triwikromo yang terangkum dalam Ular di Mangkuk Nabi, buku kumpulan cerpen yang sempat diganjar Penghargaan Sastra 2009 dari Pusat Bahasa, Jakarta, sebagai sumber inspirasi dalam berkarya.

Simaklah lukisan karya Sigit Santosa berjudul Sepasang Tanda pada Tubuh Tersalib. Lukisan itu menggambarkan tubuh laki-laki yang terbentang dengan dua garis lurus bersimbol salib yang seolah memotong ruas tubuhnya secara simetris. Dua garis lurus berwarna merah itu juga memisahkan dua tanda bibir merah yang dikecupkan di dada kiri dan bawah pusar. Karya ini merupakan sublimasi atas cerpen yang berjudul Sepasang Ular di Salib Ungu.

Bukan hanya sebatas lukisan, cerpen Triyanto juga merasuki seniman untuk membuat karya instalasi. Hardiman Radjab, misalnya, terinspirasi cerpen berjudul Malaikat Kakus pada saat membuat karya instalasi berupa kloset duduk berwarna merah bata dengan lubang jamban yang ditutupi kaca bundar. Oleh “perupa koper” itu, sosok malaikat dalam karya bertajuk serupa dengan cerpennya tersebut dijelaskan sebagai makhluk kasatmata yang tak tergambarkan. Wahyudin justru melihatnya dengan pandangan unik. “Malaikat yang berkhianat pada Tuhan disebut setan. Dan dalam kakus ada dua setan penghuni, yakni Hubutsi (jin laki-laki) dan Khobais (jin perempuan),” ujarnya.

Menurut kurator Wahyudin, mentransformasikan imajinasi verbal menjadi khayalan visual sungguh bukan pekerjaan yang remeh. “Apalagi ketika mereka harus mengerahkan daya cipta di bawah bayang-bayang kediktatoran sang empunya cerita,” katanya. Namun jalan untuk mencampurnya tanpa perlu menonjolkan ego salah satu di antaranya tetap tersedia.

Inilah yang dilakukan perupa Eddie Hara lewat penggambaran karikaturalnya yang tak lazim. Kali ini, perupa yang dikenal sejak 1980-an itu menggunakan cerpen Triyanto berjudul Hantu di Kepala Arthur Rimbaud. Dalam lukisannya yang diberi judul Kepada Pak Lik Rimbaud yang Terhormat dan Konco-konconya, Eddie menciptakan sosok alien bercampur binatang, ada yang bertanduk lembu dengan badan robot, ada pula tikus yang berjenggot.

Cerpen tentang Rimbaud juga dituangkan Dipo Andy dengan instalasi dua mumi kelelawar yang tubuh bagian belakangnya berimpitan. Mumi yang disematkan dalam kotak kaca tersebut diberi judul Bulan Berlumur Lumpur. Sebuah imajinasi seram yang dikedepankan dari sosok hantu di atas kepala sang Rimbaud.




Namun tak selamanya karya para perupa berjalan selurus cerpen-cerpen Triyanto. Tengok saja lukisan berjudul Bacalah karya Bambang “Toko” Witjaksono. Di situ tersirat adanya sebuah perlawanan sastra: cerpen versus komik. Digambarkan sepasang muda-mudi tengah melihat sebuah komik remaja. Struktur lukisan ini dibuat persis seperti gambar dalam komik, dengan ciri khas penguatan dari dialog yang digambarkan. “Lagi baca cerpen, ya?” Lalu sang pemuda menjawab, “Mending baca komik, banyak gambarnya!”

“Ketidakberpihakan” agaknya juga merangsang A. Ibnu Thalhah. Melalui karyanya, Jangan Mau Takluk pada Rezim Teks, tapi Jangan Membakarnya!, Ibnu mengilustrasikan otak manusia yang dibelenggu oleh manusia-manusia lain yang berdempet seolah menyatu. Di bawahnya, seekor binatang lucu, yang mungkin saja merupakan perwakilan komik atau seni nonteks lainnya, tampak sigap dengan sebatang ranting kayu.

Di sinilah sebuah transfigurasi berlangsung. Tak hanya secara material, tapi lebih pada sebuah kreativitas yang terjembatani, meski menggunakan medium yang beragam.

AGUSLIA HIDAYAH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sekilas Tentang Arya Wiraraja

Aria Wiraraja Aria Wiraraja atau Banyak Wide adalah tokoh pengatur siasat Raden Wijaya dalam usaha penaklukan Kadiri tahun 1293 dan pendirian Kerajaan Majapahit. Aria Wiraraja dan Keruntuhan Singhasari Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Harsawijaya mengisahkan Arya Wiraraja semula menjabat sebagai rakryan demung pada masa pemerintahan Kertanagara di Singhasari. Namun karena sikapnya menentang politik luar negeri raja, ia pun dipindahkan menjadi bupati Sumenep. Wiraraja merasa sakit hati. Ia mengetahui kalau Jayakatwang bupati Gelang-Gelang berniat memberontak, untuk membalas kekalahan leluhurnya, yaitu Kertajaya raja terakhir Kadiri yang digulingkan oleh Ken ArokKerajaan Tumapel atau Singhasari. Wiraraja pun mengirim surat melalui putranya yang bernama Wirondaya, yang berisi saran supaya Jayakatwang segera melaksanakan niatnya, karena saat itu sebagian besar tentara Singhasari sedang berada di luar Jawa. pendiri Maka pada tahun 1292, terjadilah serangan pasukan Gelang-Gelang terhadap ibu kota Singhasari. Kertanagara tewas di istana. Jayakatwang lalu membangun kembali negeri leluhurnya, yaitu Kadiri dan menjadi raja di sana. Persekutuan Aria Wiraraja dengan Raden Wijaya Menantu Kertanagara yang bernama Raden Wijaya mengungsi ke Sumenep meminta perlindungan Aria Wiraraja. Semasa muda, Wiraraja pernah mengabdi pada Narasingamurti kakek Raden Wijaya. Maka, ia pun bersedia membantu sang pangeran untuk menggulingkan Jayakatwang. Raden Wijaya bersumpah jika ia berhasil merebut kembali takhta mertuanya, maka kekuasaannya akan dibagi dua, yaitu untuk dirinya dan untuk Wiraraja. Mula-mula Wiraraja menyarankan agar Raden Wijaya pura-pura menyerah ke Kadiri. Atas jaminan darinya, Raden Wijaya dapat diterima dengan baik oleh Jayakatwang. Sebagai bukti takluk, Raden Wijaya siap membuka Hutan TarikTarik, Sidoarjo menjadi kawasan wisata bagi Jayakatwang yang gemar berburu. Jayakatwang mengabulkannya. Raden Wijaya dibantu orang-orang Madura kiriman Wiraraja membuka hutan tersebut, dan mendirikan desa Majapahit di dalamnya. Pada tahun 1293 datang tentara Mongol untuk menghukum Kertanagara yang berani menyakiti utusan Kubilai Khan tahun 1289. Raden Wijaya selaku ahli waris Kertanagara siap menyerahkan diri asalkan ia terlebih dahulu dibantu memerdekakan diri dari Jayakatwang. Maka bergabunglah pasukan Mongol dan MajapahitKadiri. Setelah Jayakatwang kalah, pihak Majapahit ganti mengusir pasukan Mongol dari tanah Jawa. menyerbu ibu kota Menurut Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Harsawijaya, pasukan Mongol datang atas undangan Wiraraja untuk membantu Raden Wijaya mengalahkan Kadiri, dengan imbalan dua orang putri sebagai istri kaisar Mongol. Kisah tersebut hanyalah ciptaan si pengarang yang tidak mengetahui kejadian sebenarnya. Dari berita Cina diketahui tujuan kedatangan pasukan Mongol adalah untuk menaklukkan KertanagaraJawa. penguasa Jabatan Aria Wiraraja di Majapahit Raden Wijaya menjadi raja pertama Majapahit yang merdeka tahun 1293. Dari prasasti Kudadu (1294) diketahui jabatan Aria Wiraraja adalah sebagai pasangguhan dengan gelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka. Pada prasasti Penanggungan (1296) nama Wiraraja sudah tidak lagi dijumpai. Penyebabnya ialah pada tahun 1295 salah satu putra Wiraraja yang bernama Ranggalawe melakukan pemberontakan dan menemui kematiannya. Peristiwa itu membuat Wiraraja sakit hati dan mengundurkan diri dari jabatannya. Ia lalu menuntut janji Raden Wijaya, yaitu setengah wilayah Majapahit. Raden WijayaMajapahit sebelah timur dengan ibu kota di Lumajang. mengabulkannya. Wiraraja akhirnya mendapatkan Akhir Kemerdekaan Majapahit Timur Pararaton menyebutkan pada tahun 1316 terjadi pemberontakan Nambi di Lumajang terhadap JayanagaraMajapahit. Kidung Sorandaka mengisahkan pemberontakan tersebut terjadi setelah kematian ayah Nambi yang bernama Pranaraja. Sedangkan, Pararaton dan Kidung Harsawijaya menyebut Nambiprasasti Kudadu (1294) Pranaraja tidak sama dengan Wiraraja. raja kedua adalah putra Wiraraja. Menurut Berdasarkan analisis Slamet Muljana menggunakan bukti prasasti Kudadu dan prasasti Penanggungan (dalam bukunya, Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya, 1979), Wiraraja lebih tepat sebagai ayah Ranggalawe dari pada ayah Nambi. (Lihat Ranggalawe) Tidak diketahui dengan pasti apakah Wiraraja masih hidup pada tahun 1316. Yang jelas, setelah kekalahan Nambi, daerah Lumajang kembali bersatu dengan Majapahit bagian barat. Ini berarti penguasa Majapahit Timur saat itu (entah Wiraraja atau penggantinya) bergabung dengan Nambi dan terbunuh oleh serangan pasukan Majapahit Barat. Referensi • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan. Yogyakarta: LKIS